1. Pendahuluan
A . Publikasi
Online
Secara terminologi, publikasi berarti penyiaran,
pengumuman ataupenerbitan6. Ton kertapati menjelaskan dalam bukunya Dasar
-DasarPublisistik Dalam Perkembangannya Di Indonesia Menjadi IlmuKomunikasi
bahwa istilah publisistik berasal dari kata kerja bahasa latinpublicare yang
berarti mengumumkan.
B.
Etika dalam
Penelitian Internet
Mendengar kata penelitian, mungkin
pertanyaan awal yang ada dalam benak kita dan setiap orang yang merasa terusik
dengan istilah “penelitian” adalah mengapa orang melakukan penelitian ?
pertanyaan sederhana dan mendasar ini pada dasarnya tidak lepas dari sifat
dasar manusia yang serba ingin tahu terhadap sesuatu yang mengusiknya.
C. Berbagai
Hasil Penelitian dan Teknik Penelitian Online
Komputer dan
internet mengubah sifat ingatan manusia, demikian kesimpulan penelitian yang
dimuat di majalah Science. Penelitian psikologi menunjukkan bahwa jika
seseorang diajukan pertanyaan-pertanyaan sulit, mereka akan memikirkan
komputer.
Ketika mereka mengetahui bahwa
berbagai fakta nantinya akan didapat lewat komputer maka ingatan mereka menjadi
tidak begitu baik karena mereka mengetahui dapat mengandalkan sumber lain.
2. Analisis
dan Pembahasan
A. Publikasi
Online
Dari penjelasan tersebut, penulisdapat menarik
kesimpulan bahwa istilah publikasi dapat diartikanpengumuman tentang suatu hal
yang disiarkan lewat media elektronik danatau diterbitkan di media cetak.
Sedangkan dalam penelitian ini, maksuddari publikasi adalah pengumuman pada
masyarakat luas melalui mediayang dibatasi oleh media televisi.Agar tidak
terjadi kebingungan atau pertanyaan-pertanyaanmengenai perbedaan publikasi dan
publisistik, maka sudah seharusnyapenulis menjelaskan mengenai hal ini sebelum
penulis membahasnya lebihjauh lagi. Yang dimaksud publisistik di sini adalah
ilmu tentang publikasidan tentunya publikasi berarti aplikasi dari keilmuan
tersebut. Ton Kertapati ,dalam bukunya ”Dasar-dasar publisistik
dalamperkembangannya di Indonesia menjadi ilmu komunikasi”, menjelaskanbahwa
istilah publisistik yang kita kenal pada waktu ini adalah berasal dariistilah
bahasa Jerman yaitu PUBLIZIZTIK. Beliau menyatakanpernyataannya demikian:Kata
kerja dalam bahasa latin ini kemudian melalui bahasa Jermankuno PUBLICIRN
menjadi PUBLIZIEREN yang juga berartimengumumkan yaitu dalam bahasa Jerman
modern. Dan akhirnyamenjadi sebutan bagi ilmu PUBLIZISTIK yang
diIndonesiakanmenjadi PUBLISISTIK. Maka adalah cukup logik kalau WalterHagemann
menganggap inti dari ilmu publisistik adalahOffentlichen Aussage (pernyataan
umum atau pengumuman).Pengumuman sebagai inti (’t essentiele essence) dari ilmu
maupungejala publisistik. 8Kita dapat menunjuk beberapa definisi publisistik
diantaranya:9a. WILHELM BAUER di dalam bukunya ”Einfuhrung in das
StudiumderGeschichte” (tahun 1921) mengatakan bahwa publizistik
adalahpengumuman-pengumuman tertulis atau berupa gambar -gambar;
yangpertama-tama secara terang-terangan mendukung suatu tendenstertentu dan
kedua direncanakan dengan maksud untukmempengaruhio umum.b. HANS TRAUB:
publisistik adalah bermacam-macam pengumumandan pemberitaan yang bersifat umum,
yang ditujukan untukmempengaruhi jiwa dan mencapai suatu tujuan tertentu. c.
Prof. EMIL DOVIVAT: publisistik adalah usaha pendidikan danpendidikan rohaniah
yang ditujukan kepada umum. Pendidikan danbimbingan/pimpinan rohaniah ini harus
disertai dengan daya ilmiahdan bertendens mempengaruhi seseorang maupun orang-orang
agarbertindak menurut apa yang kita kehendaki.d. ADINEGORO: publisitik ialah
ilmu pernyataan antara manusia yangumum lagi aktual dan bertugas menyelidiki
secara ilmiah pengaruhpernyataan itu dari mulanya ditimbulkan orang, sampai
tersiar dalampers, radio dan sebagainya serta akibatnya kepada si
penerimapernyataan-pernyataan itu.
B.
Etika dalam
Penelitian Internet
Disamping itu, minimal ada empat sebab
yang melatar belakangi orang melakukan penelitian menurut Sukmadinata (2008 :
2) yaitu Pertama, karena pengetahuan, pemahaman dan kemampuan manusia sangat
terbatas dibandingkan dengan lingkungannya yang begitu luas. Banyak hal yang
tidak diketahui, dipahami, tidak jelas dan mneimbulkan keraguan dan pertanyaan
bagi dirinya. Ketidaktahuan, ketidakpahaman, dan ketidakjelasan seringkali
menimbulkan rasa takut dan rasa terancam.
Kedua, manusia memiliki dorongan untuk mengetahui atau cariousity. Manusia selalu bertanya, apa itu, bagaimana itu, mengapa begitu dan sebagainya. Bagi kebanyakan orang, jawaban-jawaban sepintas dan sederhana mungkin sudah memberikan kepuasan, tetapi bagi orang-orang tertentu, para ilmuwan, peneliti dan para pemimpin dibutuhkan jawaban yang lebih mendalam, lebih rinci dan lebih komrehensif. Ketiga, manusia di dalam kehidupannya selalu dihadapkan kepada masalah, tantangan, ancaman, kesulitan baik di dalam dirinya, keluarganya, masyarakat sekitarnya serta dilingkungan kerjanya. Masalah, tantangan dan kesulitan tersebut membutuhkan penjelasan, pemecahan dan penyelesaian. Tidak semua masalah dan kesulitan dapat segera dipecahkan. Masalah-masalah yang pelik, sulit dan kompleks membutuhkan penelitian untuk pemecahan dan penyelesaiannya.
Keempat, manusia merasa tidak puas dengan apa yang telah dicapai, dikuasai, dan dimilikinya, ia selalu ingin yang lebih baik, lebih sempurna, lebih memberikan kemudahan, selalu ingin menambah dan meningkatkan “kekayaan” dan fasilitas hidupnya. Berangkat dari landasan berpikir di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya orang melakukan kegiatan penelitian tiada lain disamping untuk memenuhi rasa ingin tahu terhadap sebuah gejala atau peristiwa juga untuk memecahkan masalah secara ilmiah dan dapat diterima dengan logika kemanusiaan. Dari hasil penelitian itu pula maka manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang bermakna bagi kehidupan ilmiah maupun kehidupan sosial. Untuk itulah, dalam kerangka menjaga kemurnian hasil penelitian yang dilakukan serta untuk menjaga timbulnya berbagai persoalan dari hasil penelitian yang dilakukan maka persoalan etika menjadi sebuah keniscayaan yang harus diperhatikan dalam penelitian. Etika yang dimaksud, baik berupa etika sosial maupun etika ilmiah yang berkaitan langsung dengan aspek penelitian.
Kedua, manusia memiliki dorongan untuk mengetahui atau cariousity. Manusia selalu bertanya, apa itu, bagaimana itu, mengapa begitu dan sebagainya. Bagi kebanyakan orang, jawaban-jawaban sepintas dan sederhana mungkin sudah memberikan kepuasan, tetapi bagi orang-orang tertentu, para ilmuwan, peneliti dan para pemimpin dibutuhkan jawaban yang lebih mendalam, lebih rinci dan lebih komrehensif. Ketiga, manusia di dalam kehidupannya selalu dihadapkan kepada masalah, tantangan, ancaman, kesulitan baik di dalam dirinya, keluarganya, masyarakat sekitarnya serta dilingkungan kerjanya. Masalah, tantangan dan kesulitan tersebut membutuhkan penjelasan, pemecahan dan penyelesaian. Tidak semua masalah dan kesulitan dapat segera dipecahkan. Masalah-masalah yang pelik, sulit dan kompleks membutuhkan penelitian untuk pemecahan dan penyelesaiannya.
Keempat, manusia merasa tidak puas dengan apa yang telah dicapai, dikuasai, dan dimilikinya, ia selalu ingin yang lebih baik, lebih sempurna, lebih memberikan kemudahan, selalu ingin menambah dan meningkatkan “kekayaan” dan fasilitas hidupnya. Berangkat dari landasan berpikir di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya orang melakukan kegiatan penelitian tiada lain disamping untuk memenuhi rasa ingin tahu terhadap sebuah gejala atau peristiwa juga untuk memecahkan masalah secara ilmiah dan dapat diterima dengan logika kemanusiaan. Dari hasil penelitian itu pula maka manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang bermakna bagi kehidupan ilmiah maupun kehidupan sosial. Untuk itulah, dalam kerangka menjaga kemurnian hasil penelitian yang dilakukan serta untuk menjaga timbulnya berbagai persoalan dari hasil penelitian yang dilakukan maka persoalan etika menjadi sebuah keniscayaan yang harus diperhatikan dalam penelitian. Etika yang dimaksud, baik berupa etika sosial maupun etika ilmiah yang berkaitan langsung dengan aspek penelitian.
Makna Etika
Istilah etika sering disamakan dengan moral. Etika berasal dari bahasa yunani “ethos, ethikos”. Dalam bahasa latin istilah “ethos, ethikos” disebut “mos” atau moralitas. Baik ethos maupun moral artinya : adat istiadat, kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia kedua-duanya diterjemahkan dengan kesusilaan (Frans von Magnis, 1975). Tetapi antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut menurut J. Verkuyl (1979 : 15) yaitu “dalam pemakaian di kalangan ilmu pengetahuan kata etika itu telah mendapat arti yang lebih dalam dari pada kata moral. Kata moral telah mendangkal artinya. Kadang-kadang “moral” dan “mos” atau “mores” hanya kelakuan lahir saja, tetapi senantiasa menyinggung juga kaidah dan motif-motif perbuatan seseorang yang lebih dalam. Dari beberapa penulis filsafat mengatakan bahwa atika adalah “filsafat moral”.
Istilah moral biasanya dipergunakan untuk memberikan penilaian atau predikat terhadap tingkah laku manusia. Karena itu, untuk memahami pengertian moral sangat erat hubungannya dengan etika. Etika adalah suatu ilmu cabang filsafat yang objek kajiannya adalah tingkah laku manusia ditinjau dari nilai baik atau buruknya.
Berkenaan dengan hal diatas, dalam ranah kegiatan penelitian “etika” dijadikan ukuran kepatutan tentang boleh atau tidaknya, baik atau buruknya sebuah aspek-aspek tertentu dalam kegiatan penelitian. Hal ini diperlukan karena bagaimanapun juga esensi penelitian adalah untuk mencari kebenaran dari sebuah gejala yang muncul. Kebenaran yang dihasilkan dalam sebuah penelitian adalah kebenaran empirik dan kebenaran logis. Ford dalam Lincoln dan Guba (1985 : 14) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebenaran empirik yaitu apabila konsisten dengan alam, dalam bentuk menerima atau menolak hipotesis atau prediksi. Sedangkan kebenaran logis yaitu apabila hipotesis atau prediksi konsisten atau sesuai secara logis dengan hipotesis atau prediksi terdahulu yang sudah dinyatakan benar. Untuk itu, dalam rangka melahirkan sebuah kebenaran empirik dan logis sebagai hasil penelitian yang sitematis dan logis pula maka dibutuhkan etika sebagai piranti sekaligus rambu bagi peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian. Berikut etika penelitian yang dimaksud :
1. Penelitian sebagai Pencarian Ilmiah yang berpola
Tujuan akhir dari suatu penelitian adalah mengembangkan dan menguji teori. Oleh karena itu, penelitian harus dilandaskan pada teori-teori yang relevan dengan masalah penelitan yang diangkat. McMilan dan Schumacher mengutip pendapat Walberg (1986), mengatakan bahwa ada lima langkah pengembangan pengetahuan melalui penelitian, yaitu: (1) mengidentifikasi masalah penelitian, (2) melakukan studi empiris, (3) melakukan replikasi atau pengulangan, (4) menyatukan (sistesis) dan mereviu, (5) menggunakan dan mengevaluasi oleh pelaksana.
Suatu teori dapat menjelaskan dan meramalkan fenomena-fenomena alamiah. Dari perilaku atau kegiatan-kegiatan terlepas yang dilakukan oleh siswa atau guru umpamanya, peneliti dapat memberikan penjelasan umum tentang hubungan diantara perilaku atau kegiatan pembelajaran. Dari penjelasan-penjelasan umum tersebut terbentuk prinsip-prinsip dasar, dalil konstruk, proposisi yang kesemuanya akan membentuk teori. Mengenai teori ini, lebih jauh Fred N Kerlinger (1986) mengemukakan bahwa “…. a theory as a set of interrelated constructs and proposition that specify relations among variables to explain and predict phenomena”. Dalam rumusan Kerlinger tersebut ada tiga hal penting dalam suatu teori yaitu: (1) suatu teori dibangun oleh seperangkat proposisi dan kontruk, (2) teori menegaskan hubungan di antara sejumlah variabel, (3) teori menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena.
Pencarian Ilmiah
Pencarian ilmiah (scintific inquiry) adalah suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan dengan menggunakan metode-metode yang diorganisasikan secara sistematis, dalam mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data. Pengertian ilmiah berbeda dengan ilmu. Ilmu merupakan struktur atau batang tubuh pengetahuan yang telah tersusun, sedang ilmiah adalah cara mengembangkan pengetahuan.
Metode ilmiah merupakan suatu cara pengkajian yang berisi proses dengan langkah-langkah tertentu. MicMilan dan Schumacher (2001) membaginya atas empat langkah yaitu: (1) define a problem, (2) state the hypotthesis to be tested, (3) colect and analyze data, and (4) interprete the results and draw conclusions obout the problem. Hampir sama dengan McMilan dan Schumacher, John Dewey membagi langkah-langkah pencarian ilmiah yang disebutnya sebagai “reflective thinking”, atas lima langkah yaitu: (1) mengedentifkasi masalah, (2) merumuskan dan membatasi masalah, (3) menyusun hiotesis, (4) mengumpulkan dan menganalisis data, (5) menguji hipotesis dan menarik kesimpulan.
Istilah etika sering disamakan dengan moral. Etika berasal dari bahasa yunani “ethos, ethikos”. Dalam bahasa latin istilah “ethos, ethikos” disebut “mos” atau moralitas. Baik ethos maupun moral artinya : adat istiadat, kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia kedua-duanya diterjemahkan dengan kesusilaan (Frans von Magnis, 1975). Tetapi antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut menurut J. Verkuyl (1979 : 15) yaitu “dalam pemakaian di kalangan ilmu pengetahuan kata etika itu telah mendapat arti yang lebih dalam dari pada kata moral. Kata moral telah mendangkal artinya. Kadang-kadang “moral” dan “mos” atau “mores” hanya kelakuan lahir saja, tetapi senantiasa menyinggung juga kaidah dan motif-motif perbuatan seseorang yang lebih dalam. Dari beberapa penulis filsafat mengatakan bahwa atika adalah “filsafat moral”.
Istilah moral biasanya dipergunakan untuk memberikan penilaian atau predikat terhadap tingkah laku manusia. Karena itu, untuk memahami pengertian moral sangat erat hubungannya dengan etika. Etika adalah suatu ilmu cabang filsafat yang objek kajiannya adalah tingkah laku manusia ditinjau dari nilai baik atau buruknya.
Berkenaan dengan hal diatas, dalam ranah kegiatan penelitian “etika” dijadikan ukuran kepatutan tentang boleh atau tidaknya, baik atau buruknya sebuah aspek-aspek tertentu dalam kegiatan penelitian. Hal ini diperlukan karena bagaimanapun juga esensi penelitian adalah untuk mencari kebenaran dari sebuah gejala yang muncul. Kebenaran yang dihasilkan dalam sebuah penelitian adalah kebenaran empirik dan kebenaran logis. Ford dalam Lincoln dan Guba (1985 : 14) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebenaran empirik yaitu apabila konsisten dengan alam, dalam bentuk menerima atau menolak hipotesis atau prediksi. Sedangkan kebenaran logis yaitu apabila hipotesis atau prediksi konsisten atau sesuai secara logis dengan hipotesis atau prediksi terdahulu yang sudah dinyatakan benar. Untuk itu, dalam rangka melahirkan sebuah kebenaran empirik dan logis sebagai hasil penelitian yang sitematis dan logis pula maka dibutuhkan etika sebagai piranti sekaligus rambu bagi peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian. Berikut etika penelitian yang dimaksud :
1. Penelitian sebagai Pencarian Ilmiah yang berpola
Tujuan akhir dari suatu penelitian adalah mengembangkan dan menguji teori. Oleh karena itu, penelitian harus dilandaskan pada teori-teori yang relevan dengan masalah penelitan yang diangkat. McMilan dan Schumacher mengutip pendapat Walberg (1986), mengatakan bahwa ada lima langkah pengembangan pengetahuan melalui penelitian, yaitu: (1) mengidentifikasi masalah penelitian, (2) melakukan studi empiris, (3) melakukan replikasi atau pengulangan, (4) menyatukan (sistesis) dan mereviu, (5) menggunakan dan mengevaluasi oleh pelaksana.
Suatu teori dapat menjelaskan dan meramalkan fenomena-fenomena alamiah. Dari perilaku atau kegiatan-kegiatan terlepas yang dilakukan oleh siswa atau guru umpamanya, peneliti dapat memberikan penjelasan umum tentang hubungan diantara perilaku atau kegiatan pembelajaran. Dari penjelasan-penjelasan umum tersebut terbentuk prinsip-prinsip dasar, dalil konstruk, proposisi yang kesemuanya akan membentuk teori. Mengenai teori ini, lebih jauh Fred N Kerlinger (1986) mengemukakan bahwa “…. a theory as a set of interrelated constructs and proposition that specify relations among variables to explain and predict phenomena”. Dalam rumusan Kerlinger tersebut ada tiga hal penting dalam suatu teori yaitu: (1) suatu teori dibangun oleh seperangkat proposisi dan kontruk, (2) teori menegaskan hubungan di antara sejumlah variabel, (3) teori menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena.
Pencarian Ilmiah
Pencarian ilmiah (scintific inquiry) adalah suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan dengan menggunakan metode-metode yang diorganisasikan secara sistematis, dalam mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data. Pengertian ilmiah berbeda dengan ilmu. Ilmu merupakan struktur atau batang tubuh pengetahuan yang telah tersusun, sedang ilmiah adalah cara mengembangkan pengetahuan.
Metode ilmiah merupakan suatu cara pengkajian yang berisi proses dengan langkah-langkah tertentu. MicMilan dan Schumacher (2001) membaginya atas empat langkah yaitu: (1) define a problem, (2) state the hypotthesis to be tested, (3) colect and analyze data, and (4) interprete the results and draw conclusions obout the problem. Hampir sama dengan McMilan dan Schumacher, John Dewey membagi langkah-langkah pencarian ilmiah yang disebutnya sebagai “reflective thinking”, atas lima langkah yaitu: (1) mengedentifkasi masalah, (2) merumuskan dan membatasi masalah, (3) menyusun hiotesis, (4) mengumpulkan dan menganalisis data, (5) menguji hipotesis dan menarik kesimpulan.
Pencarian Berpola
Pencarian berpola (disiplined inquiry), merupakan suatu prosedur pencarian dan pelaporan dengan menggunakan cara-cara dan sistemtika tertentu, disertai penjelasan dan alasan yang kuat. Pencarian berpola bukan merupakan suatu pencarian yang bersifat sempit dan mekanistis, tetapi mengikuti prosedur formal yang telah standar. Prosedur pencarian ini pada tahap awalnya bersifat spekulatif, mencoba menggabungkan de-ide dan metode-metode, kemudian menuangkan ide-ide dan metode tersebut dalam suatu prosedur yang baku. Laporan dari pencarian berpola berisi perpaduan antara argumen-argumen yang didukung oleh data dengan proses nalar, yang disusun dan dipadatkan menghasilkan kesimpulan berbobot.
Pencarian berpola terutama dalam ilmu sosial termasuk pendidikan, bukan hanya menunjukkan pengkajian yang sistematik, tetapi juga pengkajian yang sesuai dengan disiplin ilmunya.
Pencarian berpola (disiplined inquiry), merupakan suatu prosedur pencarian dan pelaporan dengan menggunakan cara-cara dan sistemtika tertentu, disertai penjelasan dan alasan yang kuat. Pencarian berpola bukan merupakan suatu pencarian yang bersifat sempit dan mekanistis, tetapi mengikuti prosedur formal yang telah standar. Prosedur pencarian ini pada tahap awalnya bersifat spekulatif, mencoba menggabungkan de-ide dan metode-metode, kemudian menuangkan ide-ide dan metode tersebut dalam suatu prosedur yang baku. Laporan dari pencarian berpola berisi perpaduan antara argumen-argumen yang didukung oleh data dengan proses nalar, yang disusun dan dipadatkan menghasilkan kesimpulan berbobot.
Pencarian berpola terutama dalam ilmu sosial termasuk pendidikan, bukan hanya menunjukkan pengkajian yang sistematik, tetapi juga pengkajian yang sesuai dengan disiplin ilmunya.
2. Objektivitas
Penelitian harus memiliki objektiviatas (objektivity) baik dalam karakteristik maupun prosedurnya. Objektivitas dicapai melalui keterbukaan, terhindar dari bias dan subjektivitas. Dalam prosedurnya, penelitian menggunakan tekhnik pengumpulan dan analisis data yang memungkinkan dibuat interpretasi yang dapat dipertanggung jawabkan. Objetivitas juga menunjukkan kualitas data yang dihasilkan dari prosedur yang digunakan yang dikontrol dari bias dan subjektivitas.
Penelitian harus memiliki objektiviatas (objektivity) baik dalam karakteristik maupun prosedurnya. Objektivitas dicapai melalui keterbukaan, terhindar dari bias dan subjektivitas. Dalam prosedurnya, penelitian menggunakan tekhnik pengumpulan dan analisis data yang memungkinkan dibuat interpretasi yang dapat dipertanggung jawabkan. Objetivitas juga menunjukkan kualitas data yang dihasilkan dari prosedur yang digunakan yang dikontrol dari bias dan subjektivitas.
3. Ketepatan
Penelitian juga harus memiliki tingkat ketepatan (precision), secara tekhnis instrumen pengumpulan datanya harus memimiliki validitas dan reliabilitas yang memadai, desain penelitian, pengambilan sampel dan tekhnik analisis datanya tepat. Dalam penelitian kuantitatif, hasilnya dapat dilang dan diperluas, dalam penelitian kualitatif memiliki sifat reflektif dan tingkat komparasi yang konstan.
Penelitian juga harus memiliki tingkat ketepatan (precision), secara tekhnis instrumen pengumpulan datanya harus memimiliki validitas dan reliabilitas yang memadai, desain penelitian, pengambilan sampel dan tekhnik analisis datanya tepat. Dalam penelitian kuantitatif, hasilnya dapat dilang dan diperluas, dalam penelitian kualitatif memiliki sifat reflektif dan tingkat komparasi yang konstan.
4. Verifikasi
Penelitian dapat diverifikasi, dalam arti dapat dikonfirmasikan, direvisi dan diulang dengn cara yang sama atau berbeda. Verifikasi dalam penelitian kualitatif berbeda dengan kuantitatif. Penelitian kualitatif memberikan interpretasi deskriptif, verifikasi berupa perluasan, pengembangan tetapi bukan pengulangan.
Penelitian dapat diverifikasi, dalam arti dapat dikonfirmasikan, direvisi dan diulang dengn cara yang sama atau berbeda. Verifikasi dalam penelitian kualitatif berbeda dengan kuantitatif. Penelitian kualitatif memberikan interpretasi deskriptif, verifikasi berupa perluasan, pengembangan tetapi bukan pengulangan.
5. Empiris
Penelitian ditandai oleh sikap dan dan pendekatan empiris yang kuat. Secara umum empiris berarti berdasarkan pengalaman praktis. Dalam penelitian empiris kesimpulan didasarkan atas kenyataan-kenyataan yang diperoleh dengan menggunakan metode penelitian yang sistematik, bukan berdasarkan pendapat atau kekuasaan. Sikap empiris umumnya menuntut penghilangan pengalaman dan sikap pribadi. Kritis dalam penelitian berarti membuat interpretasi berdasarkan kenyataan dan nalar yang didasarkan atas kenyataan-kenyataan (evidensi). Evidensi adalah data yang diperoleh dari penelitian, berdasarkan hasil analisis data tersebut interpretasi dibuat.
Penelitian ditandai oleh sikap dan dan pendekatan empiris yang kuat. Secara umum empiris berarti berdasarkan pengalaman praktis. Dalam penelitian empiris kesimpulan didasarkan atas kenyataan-kenyataan yang diperoleh dengan menggunakan metode penelitian yang sistematik, bukan berdasarkan pendapat atau kekuasaan. Sikap empiris umumnya menuntut penghilangan pengalaman dan sikap pribadi. Kritis dalam penelitian berarti membuat interpretasi berdasarkan kenyataan dan nalar yang didasarkan atas kenyataan-kenyataan (evidensi). Evidensi adalah data yang diperoleh dari penelitian, berdasarkan hasil analisis data tersebut interpretasi dibuat.
6. Penjelasan Ringkas
Penelitian mencoba memberikan penjelasan tentang hubungan antar fenomena dan menyederhanakannya menjadi penjelasan yang ringkas. Tujuan akhir dari sebuah penelitian adalah mereduksi realita yang kompleks kedalam penjelasan yang singkat. Dalam penelitian kuantitatif penjelasan singkat tersebut berbentuk generalisasi, tetapi dalam penelitian kualitatif berbentuk deskriptif tentang hal-hal yang esensial atau pokok.
Penelitian mencoba memberikan penjelasan tentang hubungan antar fenomena dan menyederhanakannya menjadi penjelasan yang ringkas. Tujuan akhir dari sebuah penelitian adalah mereduksi realita yang kompleks kedalam penjelasan yang singkat. Dalam penelitian kuantitatif penjelasan singkat tersebut berbentuk generalisasi, tetapi dalam penelitian kualitatif berbentuk deskriptif tentang hal-hal yang esensial atau pokok.
7. Penalaran Logis
Semua kegiatan penelitian menuntut penalaran logis. Penalaran merupakan proses berpikir, menggunakan prinsip-prinsip logika deduktif atau induktif. Penalaran deduktif, penarikan kesimpulan dari umum ke khusus. Dalam penalaran deduktif, bila premisnya benar maka kesimpulannya otomatis benar. Logika deduktif dapat mengidenfikasi hubungan—hubungan baru dalam pengetahuan yang ada. Dalam penalaran induktif. Peneliti menarik kesimpulan berdasarkan hasil sejumlah pengamatan kasus-kasus (individual, situasi, peristiwa), kemudian peneliti membuat kesimpulan yang bersifat umum.
Semua kegiatan penelitian menuntut penalaran logis. Penalaran merupakan proses berpikir, menggunakan prinsip-prinsip logika deduktif atau induktif. Penalaran deduktif, penarikan kesimpulan dari umum ke khusus. Dalam penalaran deduktif, bila premisnya benar maka kesimpulannya otomatis benar. Logika deduktif dapat mengidenfikasi hubungan—hubungan baru dalam pengetahuan yang ada. Dalam penalaran induktif. Peneliti menarik kesimpulan berdasarkan hasil sejumlah pengamatan kasus-kasus (individual, situasi, peristiwa), kemudian peneliti membuat kesimpulan yang bersifat umum.
8. Kesimpulan Kondisional
Kesimpulan hasil penelitian tidak bersifat absolut. Penelitian perilaku dan juga ilmu kealaman, tidak menghasilkan kepastian, sekalipun kepastian relatif. Semua yang dihasilkan adalah pengetahuan probabilistik. Penelitian boleh dikatakan hanya mereduksi ketidaktentuan. Oleh karena demikian, baik kesimpulan kualitatif maupun kuantitatif, bersifat kondisional. Para peneliti seringkali menekankan/menuliskan bahwa hasil penelitiannya “cenderung menunjukkan atau memberikan kecenderungan”.
Pada bagian lain, berkenaan dengan etika sosial, Kemmis dan Taggart dalam Hopkins(1993 : 221-223) menjelaskan bahwa terdapat beberapa etika/pedoman yang harus ditaati sebelum, selama dan sesudah penelitian dilakukan sebagai berikut :
1. Meminta kepada orang-orang, panitia, atau yang berwenang persetujuan dan ijin.
2. Ajaklah kawan-kawan sejawat terlibat dan berpartisipasi dalam penelitian.
3. Terhadap yang tidak langsung terlibat, perhatikan pendapat mereka.
4. Penelitian berlangsung terbuka dan transparan, saran-saran diperhatikan, dan kawan sejawat dperbolehkan mengajukan protes.
5. Meminta iizin eksplisit, untuk mengobservasi dan mencatat kegiatan mitra peneliti, tidak termasuk izin dari siswa apabila penelitian bertujuan meningkatkan pembelajaran.
6. Minta izin untuk membuka dan mempelajari catatan resmi, surat menyurat dan dokumen. Membuat fotokopi hanya diperkenankan apabila di ijinkan.
7. Catatan dan deskripsi kegiatan hendaknya relevan, akurat dan adil.
8. Wawancara, pertemuan atau tukar pendapat tertulis hendaknya memperhatikan pandangan lain, relevan, akurat dan adil.
9. Rujukan langsung, rujukan observasi, rekaman, keputusan, kesimpulan, atau rekomendasi hendaknya mendapat izin atau otorisasi kutipan.
10. Laporan disusun untuk kepentingan yang berbeda, seperti laporan verbal pada pertemuan staf jurusan, tertulis untuk jurnal, surat kabar, orang tua murid dan lain-lain.
11. Tanggung jawab untuk hal-hal atau pribadi-pribadi yang sifatnya konfidensial.
12. Semua mitra penelitian mengetahui dan menyetujui prinsip-prinsip kerja di atas, sebelum penelitian berlangsung.
13. Hak melaporkan kegiatan dan hasil penelitian, apabila sudah disetujui oleh para mitra peneliti, dan laporan tidak bersifat melecehkan siapapun yang terlibat, maka laporan tidak boleh diveto atau dilarang karena alasan kerahasiaan.
Kesimpulan hasil penelitian tidak bersifat absolut. Penelitian perilaku dan juga ilmu kealaman, tidak menghasilkan kepastian, sekalipun kepastian relatif. Semua yang dihasilkan adalah pengetahuan probabilistik. Penelitian boleh dikatakan hanya mereduksi ketidaktentuan. Oleh karena demikian, baik kesimpulan kualitatif maupun kuantitatif, bersifat kondisional. Para peneliti seringkali menekankan/menuliskan bahwa hasil penelitiannya “cenderung menunjukkan atau memberikan kecenderungan”.
Pada bagian lain, berkenaan dengan etika sosial, Kemmis dan Taggart dalam Hopkins(1993 : 221-223) menjelaskan bahwa terdapat beberapa etika/pedoman yang harus ditaati sebelum, selama dan sesudah penelitian dilakukan sebagai berikut :
1. Meminta kepada orang-orang, panitia, atau yang berwenang persetujuan dan ijin.
2. Ajaklah kawan-kawan sejawat terlibat dan berpartisipasi dalam penelitian.
3. Terhadap yang tidak langsung terlibat, perhatikan pendapat mereka.
4. Penelitian berlangsung terbuka dan transparan, saran-saran diperhatikan, dan kawan sejawat dperbolehkan mengajukan protes.
5. Meminta iizin eksplisit, untuk mengobservasi dan mencatat kegiatan mitra peneliti, tidak termasuk izin dari siswa apabila penelitian bertujuan meningkatkan pembelajaran.
6. Minta izin untuk membuka dan mempelajari catatan resmi, surat menyurat dan dokumen. Membuat fotokopi hanya diperkenankan apabila di ijinkan.
7. Catatan dan deskripsi kegiatan hendaknya relevan, akurat dan adil.
8. Wawancara, pertemuan atau tukar pendapat tertulis hendaknya memperhatikan pandangan lain, relevan, akurat dan adil.
9. Rujukan langsung, rujukan observasi, rekaman, keputusan, kesimpulan, atau rekomendasi hendaknya mendapat izin atau otorisasi kutipan.
10. Laporan disusun untuk kepentingan yang berbeda, seperti laporan verbal pada pertemuan staf jurusan, tertulis untuk jurnal, surat kabar, orang tua murid dan lain-lain.
11. Tanggung jawab untuk hal-hal atau pribadi-pribadi yang sifatnya konfidensial.
12. Semua mitra penelitian mengetahui dan menyetujui prinsip-prinsip kerja di atas, sebelum penelitian berlangsung.
13. Hak melaporkan kegiatan dan hasil penelitian, apabila sudah disetujui oleh para mitra peneliti, dan laporan tidak bersifat melecehkan siapapun yang terlibat, maka laporan tidak boleh diveto atau dilarang karena alasan kerahasiaan.
C. Berbagai
Hasil Penelitian dan Teknik Penelitian Online
Para peneliti mengatakan internet bertindak sebagai "ingatan
transaktif". Penulis laporan Betsy Sparrow dari Universitas Columbia
mengatakan ingatan transaktif "adalah ide adanya sumber ingatan
luar-tempat penyimpanan di pihak lain". "Ada ahli-ahli hal tertentu
dan kita membiarkan mereka bertanggung jawab atas informasi tersebut,"
katanya.
Penulis lain laporan Daniel Wegner, yang pertama kali mengusulkan konsep
ingatan transaktif dalam bab sebuah buku berjudul Ketergantungan Kognitif pada
Hubungan Dekat, menemukan pasangan yang sudah lama hidup bersama saling
membantu saat mengingat sesuatu.
"Saya berpikir internet menjadi sebuah bentuk ingatan transaktif dan
saya ingin mengujinya," kata Dr Sparrow.
Di mana, bukan apa
Bagian pertama pengkajian adalah menguji apakah peserta penelitian
"langsung" memikirkan komputer dan internet begitu diajukan
pertanyaan sulit. Tim menggunakan tes Stroop yang dimodifikasi.
Tes Stroop standar mengukur berapa lama waktu yang diperlukan partisipan
untuk membaca sebuah kata warna sementara kata tersebut berbeda warna, misalnya
kata "hijau" ditulis dengan warna biru. Waktu reaksi meningkat
ketika, bukannya kata warna, para partisipan ditanyakan untuk membaca kata-kata
tentang topik yang kemungkinan sudah ada dalam pikiran. Dengan cara ini tim
peneliti menunjukkan bahwa, setelah diberikan topik dengan jawaban ya/tidak,
waktu reaksi terhadap istilah yang terkait dengan internet sangat lebih lama.
Ini adalah sebuah isyarat partisipan tidak mengetahui jawaban, dan mereka sudah
mempertimbangkan untuk menjawab dengan menggunakan komputer.
Dalam percobaan lebih mendalam para peserta penelitian diberikan
serangkaian fakta. Setengahnya diminta menyimpannya pada sejumlah folder
di komputer, setengahnya diberitahu bahwa fakta-fakta tersebut akan dihapus.
Ketika diminta untuk mengingat fakta tadi, kelompok yang mengetahui informasi
tidak akan didapat lagi menunjukkan kinerja yang sangat lebih baik dibandingkan
kelompok yang menyimpan fakta dalam berkas di komputer.
Tetapi kelompok yang mengharapkan informasi tersebut akan didapat nantinya,
sangat bagus ingatannya dalam mengingat folder tempat penyimpanan
informasi. "Ini mengisyaratkan bahwa dalam kaitan dengan berbagai hal yang
bisa kita dapatkan di internet, kita cenderung menempatkan ingatan online kita
cenderung menyimpannya di luar," kata Dr Sparrow.
Dia mengatakan kecenderungan partisipan untuk mengingat lokasi informasi,
bukannya informasi itu sendiri, merupakan isyarat orang semakin tidak bisa
mengingat sesuatu, mereka hanya mengatur penempatan informasi dalam jumlah
besar agar nantinya mudah didapat.
"Saya tidak menganggap Google membuat kita bodoh, kita hanya mengubah
cara mengingat. Jika kita bisa mendapatkannya di internet meskipun sedang
berjalan-jalan, maka ketrampilan yang diperlukan, yang perlu diingat adalah ke
mana harus mendapatkan informasi. Sama seperti dalam kaitannya dengan orang,
ketrampilan yang diperlukan adalah mengingat siapa yang perlu ditemui (untuk
mengetahui hal tertentu)," katanya.
·
Efek Psikologis Facebook bagi
Kesehatan Mental
Beberapa waktu lalu muncul laporan mengenai tanda-tanda orang kecanduan
Facebook atau situs jejaring sosial lainnya, misalnya Anda mengubah status
lebih dari dua kali sehari dan rajin mengomentari perubahan status teman. Anda
juga rajin membaca profil teman lebih dari dua kali sehari meski ia tidak
mengirimkan pesan atau men-tag Anda di fotonya.
Laporan terbaru dari The Daily Mail menyebutkan, kecanduan situs jejaring
sosial seperti Facebook atau MySpace juga bisa membahayakan kesehatan karena
memicu orang untuk mengisolasikan diri. Meningkatnya pengisolasian diri dapat
mengubah cara kerja gen, membingungkan respons kekebalan, level hormon, fungsi
urat nadi, dan merusak performa mental. Hal ini memang bertolak belakang dengan
tujuan dibentuknya situs-situs jejaring sosial, di mana pengguna diiming-imingi
untuk dapat menemukan teman-teman lama atau berkomentar mengenai apa yang
sedang terjadi pada rekan Anda saat ini.
Suatu hubungan mulai menjadi kering ketika para individunya tak lagi
menghadiri sosial gathering, menghindari pertemuan dengan teman-teman atau
keluarga, dan lebih memilih berlama-lama menatap komputer (atau ponsel). Ketika
akhirnya berinteraksi dengan rekan-rekan, mereka menjadi gelisah karena
"berpisah" dari komputernya.
Si pengguna akhirnya tertarik ke dalam dunia artifisial. Seseorang yang
teman-teman utamanya adalah orang asing yang baru ditemui di Facebook atau
Friendster akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi secara face-to-face.
Perilaku ini dapat meningkatkan risiko kesehatan yang serius, seperti kanker,
stroke, penyakit jantung, dan dementia (kepikunan), demikian menurut Dr Aric
Sigman dalam The Biologist, jurnal yang dirilis oleh The Institute of Biology.
Pertemuan secara face-to-face memiliki pengaruh pada tubuh yang tidak
terlihat ketika mengirim e-mail. Level hormon seperti oxytocin yang mendorong
orang untuk berpelukan atau saling berinteraksi berubah, tergantung dekat atau
tidaknya para pengguna. Beberapa gen, termasuk gen yang berhubungan dengan
sistem kekebalan dan respons terhadap stres, beraksi secara berbeda, tergantung
pada seberapa sering interaksi sosial yang dilakukan seseorang dengan yang
lain.
Menurutnya, media elektronik juga menghancurkan secara perlahan-lahan
kemampuan anak-anak dan kalangan dewasa muda untuk mempelajari kemampuan sosial
dan membaca bahasa tubuh. "Salah satu perubahan yang paling sering
dilontarkan dalam kebiasaan sehari-hari penduduk Inggris adalah pengurangan
interaksi dengan sesama mereka dalam jumlah menit per hari. Kurang dari dua
dekade, jumlah orang yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang dapat diajak
berdiskusi mengenai masalah penting menjadi berlipat."
Kerusakan fisik juga sangat mungkin terjadi. Bila menggunakan mouse atau
memencet keypad ponsel selama berjam-jam setiap hari, Anda dapat mengalami
cidera tekanan yang berulang-ulang. Penyakit punggung juga merupakan hal yang
umum terjadi pada orang-orang yang menghabiskan banyak waktu duduk di depan
meja komputer. Jika pada malam hari Anda masih sibuk mengomentari status teman
Anda, Anda juga kekurangan waktu tidur. Kehilangan waktu tidur dalam waktu lama
dapat menyebabkan kantuk berkepanjangan, sulit berkonsentrasi, dan depresi dari
sistem kekebalan. Seseorang yang menghabiskan waktunya di depan komputer juga
akan jarang berolahraga sehingga kecanduan aktivitas ini dapat menimbulkan
kondisi fisik yang lemah, bahkan obesitas.
Tidak heran jika Dr Sigman mengkhawatirkan arah dari masalah ini.
"Situs jejaring sosial seharusnya dapat menjadi bumbu dari kehidupan
sosial kita, namun yang kami temukan sangat berbeda. Kenyataannya situs-situs
tersebut tidak menjadi alat yang dapat meningkatkan kualitas hidup, melainkan
alat yang membuat kita salah arah," tegasnya.
Namun, bila aktivitas Facebook Anda masih sekadar sign in, mengonfirmasi
friend requests, lalu sign out, tampaknya Anda tak perlu khawatir bakal terkena
risiko kanker, stroke, bahkan menderita pikun.
·
Rajin Twitter-an Sama dengan Rajin
Masturbasi
Penelitian: Rajin Twitter-an Sama dengan Rajin Masturbasi. Kebiasaan
masturbasi bisa dilihat dari aktivitas seseorang di jejaring sosial khususnya
Twitter. Survei membuktikan, seseorang yang rajin nge-tweet umumnya 2 kali
lebih doyan melampiaskan hasrat seksualnya dengan tangan sendiri.
Survei tersebut dilakukan terhadap 21.315 pengguna situs perjodohan OK
Cupid dengan rentang usia antara 18-24 tahun. Peneliti mengamati seberapa
sering para responden beraktivitas di Twitter, lalu membandingkan dengan
kecenderungannya untuk masturbasi.
Hasilnya cukup mengejutkan, sebagian besar responden dari kelompok yang
rajin nge-tweet setiap hari mengaku sering masturbasi. Rasionya 2:1 bila
dibandingkan dengan kecenderungan masturbasi pada kelompok responden yang hanya
nge-tweet beberapa hari sekali.
Seorang pakar psikologi seksual dari Amerika Serikat, Dr Kat Van Kirk
menduga penyebabnya adalah kemudahan akses terhadap ‘stimulasi visual’.
Pengguna Twitter selalu terhubung dengan internet, sehingga lebih dekat dengan
gambar atau video yang bisa merangsang birahi.
“Level komunikasi pada pengguna Twitter lebih tinggi dibanding yang lain.
Jika mereka banyak waktu untuk nge-tweet, mereka pasti juga punya waktu untuk
masturbasi,” ungkapnya seperti dikutip dari MensHealth.com, Senin (25/4/2011).
Meski begitu, tidak semua pakar sependapat dengan hasil survei tersebut.
Pakar kesehatan reproduksi dari Indiana University, Debby Herbenick, PhD
menilai survei informal semacam itu terlalu lemah untuk ditarik kesimpulan yang
bisa berlaku umum.
Terlebih, para pengguna Twitter cenderung bersifat lebih ekstrovert atau
terbuka untuk menyampaikan pendapat. Tanpa metode yang valid, survei itu bisa
saja diartikan bahwa para pengguna Twitter hanya lebih jujur mengakui
kebiasaannya melakukan masturbasi.
3.
Kesimpulan
akhirnya dapat
disimpulkan bahwa etika dalam penelitian merupakan sebuah keniscayaan untuk
dijadikan sebagai piranti sekaligus pedoman untuk menghindari kegagalan dalam
penelitian. Etika yang dimaksud baik yang berkenaan dengan etika ilmiah maupun
etika sosial. Mengedepankan etika sebagai sumber kepatutan dalam penelitian
tidak lepas dari esensi kegiatan penelitian itu sendiri yaitu untuk menemukan
kebenaran dan kemudian mengkontruks kebenaran itu menjadi sebuah teori.
4. Referensi
0 komentar:
Posting Komentar